Home Berita IDI Bantah Pengumpulan SKP Makan Biaya Besar, Tak Semua Harus dari Seminar Berbayar

IDI Bantah Pengumpulan SKP Makan Biaya Besar, Tak Semua Harus dari Seminar Berbayar

8 min read
0
0
398
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Barat dr. Eka Mulyana, SpOT(K)., FICS., M.Kes., SH., MH.Kes (kiri) bersama Ketua Umum Pengurus Besar (PB) IDI Dr. dr. Adib Khumaidi, SpOT pada Seminar Fitofarmaka: Peran Dokter dalam Pemanfaatan Fitofarmaka Untuk Pelayanan Kesehatan di Bandung, beberapa waktu lalu. (Dexa Group)

publiksultra.id – Ikatan Dokter Indonesia (IDI) membantah pengumpulan Satuan Kredit Profesi (SKP) untuk mendapatkan Surat Izin Praktik (SIP) bagi seorang dokter memakan biaya besar.

SKP dibutuhkan seorang dokter untuk mendapat Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP).

Untuk mendapat STR dan SIP, dibutuhkan sedikitnya 250 SKP yang bisa didapatkan dari pelatihan atau seminar/workshop dalam ranah pembelajaran; dari praktik pelayanan pasien dalam ranah profesional; maupun penyuluhan atau kegiatan dalam ranah pengabdian.

Ketua Umum Pengurus Besar IDI Adib Khumaidi mengatakan, SKP tidak hanya bisa didapatkan dari seminar yang dinilai berbiaya mahal. SKP bisa didapat dari praktik sehari-hari dokter. “Kalau kemudian kita bicara 250 SKP, sebagian besar bisa dilakukan dengan, saya sebagai dokter spesialis ortopedi, saya berpraktik, saya mempunyai nilai SKP,” kata Adib dalam acara Rosi Kompas TV yang tayang pada Kamis (13/7/2023) malam.
“Saya operasi, saya mempunyai nilai SKP. Saya kemudian ikut pengabdian masyarakat, saya mendapatkan SKP. Seminar hanya sekitar 25 persen,” imbuhnya.

baca juga : Soal Calo Pengurusan Izin Praktek Dokter, IDI Sebut Sudah Lakukan Penindakan

Ia pun membantah organisasinya menghimpun dana besar dari praktik pengumpulan SKP tersebut.

Begitu pula kembali membantah pernyataan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin yang membuat sang menteri disomasi beberapa waktu lalu.

Kala itu, Budi menyebut, jika dikalikan 77.000 dokter spesialis yang mengajukan perpanjangan (SIP/STR), maka ada uang ratusan miliar yang dikeluarkan oleh para dokter setiap tahunnya.
“Di dalam SKP, ini yang harus saya klarifikasi, karena ada pernyataan yang dihitung 250 (SKP) dikalikan sekian ribu, salah,” beber Adib.

Adib juga membantah uang yang dikeluarkan para dokter seluruhnya mengalir ke IDI. Dalam pembuatan atau perpanjangan STR misalnya, uangnya mengalir ke Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Uang di Konsil lantas mengalir ke kas negara.

Di sisi lain, iuran yang diwajibkan IDI juga kecil, hanya Rp 30.000/bulan. Namun karena kesibukan para dokter, banyak pula dokter-dokter yang akhirnya mengakumulasi pembayaran iuran per 5 tahun sekali bayar, sehingga terkesan besar.

“Saya kira bukan bisnis, ini lebih mengarah pada di dalam pengelolaan organisasi, itu nilai yang sangat kecil. Di perhimpunan spesialis juga ada nilai dan itu melalui sebuah kesepakatan antar anggota,” ungkap Adib.

Lebih lanjut Adib menyampaikan, pihaknya juga telah membuat kebijakan agar dokter yang menjalani masa internship dibebaskan dari kewajiban iuran selama 1 tahun. “IDI bukan organisasi birokrasi. IDI adalah organisasi yang menjunjung tinggi nilai kesejawatan. kalau SKP pun,ada banyak juga teman-teman kami menyatakan enggak pernah ikut seminar, mereka mendapatkan fasilitas untuk re-sertifikasi karena kita tahu kamu memang dokter dan berpraktik,” jelasnya.Sebagai informasi, dominasi organisasi kesehatan seringkali disebut pemerintah dalam pembahasan RUU Kesehatan yang baru saja disahkan menjadi UU, yang berencana menciptakan dokter spesialis.

Menurut pemerintah, dominasi organisasi kesehatan menghambat pertumbuhan dokter spesialis karena mahalnya biaya pengurusan izin praktik. Padahal rasio dokter spesialis di Indonesia masih jauh di bawah standar.

baca juga : Terlambat Sahur, Ini yang Sebaiknya Dikonsumsi Agar Tetap Bertenaga Saat Puasa

Rasio dokter spesialis di Indonesia hanya 0,12 per 1.000 penduduk, lebih rendah dibandingkan dengan median Asia Tenggara, 0,20 per 1.000 penduduk. Sementara itu, rasio dokter umum 0,62 dokter per 1.000 penduduk di Indonesia, lebih rendah dari standar WHO sebesar 1,0 per 1.000 penduduk.

IDI juga sempat membantah menghimpun dana besar dan mempersulit para dokter untuk membuat Surat Izin Praktik (SIP).

Bantahan ini disampaikan usai Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menyebut biaya pengurusan Surat Tanda Registrasi (STR) dan/atau Surat Izin Praktek (SIP) mencapai Rp 6 juta untuk satu orang.

Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Adib Khumaidi menjelaskan, IDI hanya mengenakan iuran kepada anggota hanya Rp 30.000 per bulan. Selama 5 tahun, iuran yang dibayar oleh anggota mencapai Rp 1,8 juta.

Ada pula iuran perhimpunan dokter yang besarannya berbeda-beda di berbagai perhimpunan. Namun, rata-rata besaran iuran tersebut sekitar Rp 100.000 per bulan.
Selama lima tahun, iuran perhimpunan yang dibayar oleh dokter mencapai Rp 6 juta. Kemudian, terdapat pembuatan Kartu Tanda Anggota (KTA) elektronik IDI sekitar Rp 30.000.Lalu, biaya rekomendasi praktik yang disepakati Rp 100.000 per 5 tahun untuk satu SIP. Adapun untuk re-sertifikasi dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) sebesar Rp 100.000. Biaya-biaya itu diperlukan untuk melakukan aktivitas dan upaya mendukung program pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Terakhir, pemerintah melalui RUU Kesehatan bakal menerapkan STR berlaku seumur hidup dari yang semula diperpanjang 5 tahun sekali. Namun, STR tetap bisa saja dicabut bila melanggar hal-hal tertentu.
sumbe : kompas.com

Load More Related Articles
Load More By Publik Sultra
Load More In Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also

Memahami Roadmap Pembelajaran AI

Pendahuluan Kecerdasan buatan (AI) semakin menjadi perhatian dalam dunia modern, mempengar…