Home Berita Semakin Bengkak, Rugi Garuda Q3 Kini Tembus Rp18,94 Triliun

Semakin Bengkak, Rugi Garuda Q3 Kini Tembus Rp18,94 Triliun

6 min read
0
0
223
Semakin Bengkak, Rugi Garuda Q3 Kini Tembus Rp18,94 Triliun
News

JAKARTA, PUBLIKSULTRA.ID – Kinerja emiten maskapai penerbangan BUMN, PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) kian tertekan saat pandemi Covid-19 yang menyebabkan beban utang menumpuk. Perseroan menelan kerugian bersih senilai US$ 1,334 miliar atau setara dengan Rp 18,94 triliun (kurs Rp 14.200/US$) pada periode laporan keuangan yang berakhir pada 30 September 2021.

Kerugian ini membengkak 25% dari periode yang sama di tahun sebelumnya US$ 1,07 miliar atau Rp 15,19 triliun.

Kinerja keuangan Garuda ini disampaikan dalam dokumen paparan Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo saat menjabarkan kondisi keuangan Garuda Indonesia yang dinilai secara teknikal bangkrut alias technically bankrupt.

Wamen BUMN menjelaskan kondisi Garuda dalam Rapat Kerja Menteri BUMN dengan Komisi VI.

Baca Juga: Ingin Rasakan Sensasi Jadi Pilot? Garuda Sewakan Simulator Pesawat Mulai Rp1,6 Juta

Berdasarkan data paparannya, selama 9 bulan pertama tahun ini atau per September 2021, perseroan mencatatkan pendapatan sebesar US$ 568 juta atau sekitar Rp 8,06 triliun. Capaian ini anjlok 50% dari pendapatan periode yang sama di tahun sebelumnya yang senilai US$ 1,13 miliar atau setara Rp 16,05 triliun.

Pada periode September tahun lalu, penurunan paling besar terjadi pada pendapatan penerbangan berjadwal yang turun menjadi US$ 917,28 juta dari sebelumnya US$ 2,79 juta.

Kemudian, penerbangan tidak berjadwal juga turun menjadi US$ 46,92 juta dari sebelumnya US$ 249,91 juta. Penurunan ini utamanya karena tak adanya penerbangan haji tahun ini, padahal pendapatan penerbangan haji ini berkontribusi cukup besar di pos ini.

Pendapatan lain-lain juga mengalami penurunan drastis dari US$ 494,89 juta menjadi senilai US$ 174,55 juta karena turunnya seluruh komponen jasa yang dimiliki oleh grup Garuda Indonesia. Terutama disebabkan tak adanya pendapatan dari jasa ground handling dan turunnya pendapatan dari jasa pemeliharaan dan perbaikan pesawat.

Namun demikian, dari sisi kinerja operasional, tahun ini perseroan mengalami perbaikan seiring dengan peningkatan jumlah penumpang sebesar 83% dari Agustus sebanyak 115 ribu pax (penumpang) menjadi 211 ribu penumpang pada September 2021 dengan SLF (seat load factor) 36 %.

Peningkatan pax lebih tinggi dari peningkatan frekuensi penerbangan yang sebesar 18% dari bulan Agustus ke September 2021.

Peningkatan traffic penumpang dengan optimalisasi alat produksi dari utilisasi 3:27 di Agustus 2021 menjadi 4:27 di September mampu meningkatkan pendapatan menjadi US$ 51 juta, sehingga kerugian operasional di September 2021 dapat menurun dibanding bulan sebelumnya.

Sampai dengan 30 September 2021, total aset perseroan mencapai US$ 6,92 miliar atau setara Rp 98 triliun, turun dari posisi 31 Desember 2020 senilai US$ 8,07 miliar.

Aset ini terdiri dari liabilitas yang meningkat menjadi US$ 9,75 dari akhir Desember lalu US$ 9,57 miliar. Sedangkan, ekuitas perseroan membengkak menjadi minus US$ 2,82 miliar dari sebelumnya minus US$ 1,50 miliar.

Dalam kesempatan itu, Tiko, panggilan akrab Wamen BUMN, mengatakan buruknya kondisi keuangan yang sedang dialami oleh Garuda disebabkan karena korupsi yang terjadi di perusahaan dan ditambah dengan dampak pandemi Covid-19 yang terjadi sejak Maret tahun lalu.

Dua hal ini menjadi faktor utama neraca keuangan perusahaan terus memburuk karena biaya yang harus dikeluarkan perusahaan menjadi sangat tinggi.

“Pertama tentunya kita mengetahui kasus korupsi yang sudah diketahui KPK di mana memang itu mereka pesawat dan sebagainya. Itu memang menjadi isu utama di masa lalu dan ini juga menyebabkan kontrak dengan lessor Garuda ini cukup tinggi dibanding dengan airline lain,” kata Tiko dikutip dari CNBC Indonesia, Rabu (10/11/2021).

Mantan Dirut Bank Mandiri ini menjelaskan karena korupsi yang berhubungan dengan lessor atau perusahaan penyewa pesawat tersebut, biaya sewa pesawat alias aircraft rental cost perusahaan mencapai 24,7% dari pendapatan perusahaan. Angka ini empat kali lipat lebih tinggi dibanding dengan maskapai lainnya.

Selanjutnya, pandemi Covid-19 yang terjadi sejak tahun lalu juga menjadi penyebab berikutnya kondisi keuangan perusahaan makin memburuk. (*)

Editor: Milna Miana

Sumber: CNBC Indonesia

Load More Related Articles
Load More By Publik Sultra
Load More In Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also

Perbedaan Full Backup, Incremental Backup, dan Differential Backup

Pendahuluan Backup data adalah proses penting dalam menjaga keamanan dan integritas inform…