Istilah Zero Trust sering terdengar ekstrem—seolah tidak ada yang boleh dipercaya sama sekali. Tapi, apakah benar dalam praktiknya, semuanya benar-benar nol kepercayaan (zero trust)? Dan jika iya, apakah itu realistis?

Jawabannya: Tidak sepenuhnya.
Zero Trust bukan berarti tidak percaya siapa pun selamanya, melainkan:

“Jangan langsung percaya. Selalu verifikasi sebelum memberi akses.”

Walaupun konsepnya jelas dan logis, implementasinya tidak selalu mudah. Banyak organisasi menghadapi berbagai tantangan saat mencoba menerapkannya.

 Apa yang Dimaksud dengan ‘Zero’ dalam Zero Trust?

Zero di sini bukan berarti nihil kepercayaan selamanya, melainkan:

  • Tidak memberikan akses berdasarkan lokasi jaringan saja (misalnya: “karena dia di kantor, pasti aman”)

  • Selalu mengecek ulang siapa yang mengakses, dari mana, dan untuk apa

  • Memberi akses minimum yang diperlukan saja

Jadi, bukan “tidak percaya sama sekali,” tapi lebih ke “percaya dengan batasan, dan hanya jika terbukti.”

Tantangan dalam Implementasi Zero Trust

 1. Kompleksitas Infrastruktur

Untuk menerapkan Zero Trust, perusahaan perlu:

  • Memetakan seluruh sistem dan aplikasi

  • Menentukan siapa boleh akses apa

  • Menghubungkan berbagai sistem keamanan

 Ini bisa sangat rumit, terutama untuk perusahaan besar atau yang sistemnya sudah lama.

 2. Penolakan dari Pengguna

Zero Trust bisa terasa mengganggu bagi karyawan. Contohnya:

  • Login harus pakai MFA (OTP, sidik jari, dll)

  • Akses ke sistem tertentu dibatasi

  • Sering muncul verifikasi ulang

 Tanpa edukasi dan komunikasi yang baik, karyawan bisa merasa tidak dipercaya atau frustrasi.

 3. Integrasi Alat Keamanan yang Berbeda

Untuk menjalankan Zero Trust dengan baik, perusahaan perlu menggabungkan:

  • IAM (Identity & Access Management)

  • MFA

  • SIEM (monitoring)

  • EDR (perlindungan perangkat)

  • CASB (keamanan cloud)

 Tidak semua alat ini saling terhubung dengan mudah. Butuh waktu dan keahlian teknis.

 4. Kesalahan dalam Penentuan Hak Akses

Zero Trust mewajibkan prinsip least privilege access (akses seminimal mungkin). Tapi sering kali:

  • Karyawan tidak bisa mengakses sistem yang mereka butuhkan

  • Atau malah terlalu banyak akses diberikan karena “takut ribet”

 Menentukan hak akses yang tepat butuh waktu dan analisis mendalam.

 5. Biaya dan Sumber Daya

Menerapkan Zero Trust butuh:

  • Teknologi baru

  • Pelatihan staf

  • Konsultasi keamanan

  • Tim khusus untuk memantau dan menyesuaikan sistem

Untuk bisnis kecil, ini bisa menjadi beban yang cukup besar di awal.

 Bagaimana Menghadapinya?

  • Mulai kecil, lalu perluas: Jangan langsung ubah semuanya. Mulailah dari sistem paling kritis dulu.

  • Libatkan semua pihak: IT, HR, manajemen, dan karyawan harus bekerja sama.

  • Gunakan tools yang mudah diintegrasikan: Pilih solusi keamanan yang kompatibel satu sama lain.

  • Terus evaluasi dan sesuaikan: Zero Trust bukan sistem statis, tapi harus berkembang sesuai kebutuhan bisnis.

  • Fokus pada pengalaman pengguna: Usahakan tetap aman tanpa membuat kerja jadi ribet.

 Kesimpulan

Zero Trust bukan benar-benar “nol kepercayaan”, tapi lebih ke “kepercayaan bersyarat dan bertahap”.
Meskipun konsepnya kuat, implementasinya tidak mudah dan penuh tantangan.

Namun jika dilakukan dengan strategi yang tepat, Zero Trust akan menjadi fondasi keamanan yang kokoh di era digital yang makin kompleks.

Jadi, Zero Trust bukan soal tidak percaya, tapi soal percaya secara cerdas.