BAB 1: Pendahuluan

Dalam dunia digital yang semakin kompleks, aktivisme tidak lagi terbatas pada aksi di jalanan. Ia telah bermigrasi ke dunia maya dalam bentuk “hacktivism”—gabungan dari hacking dan activism. Salah satu bentuk yang sering muncul adalah serangan Denial of Service (DoS) yang dilakukan bukan untuk mencuri data, tapi untuk menyuarakan protes atau menekan suatu pihak secara simbolik.

Pertanyaannya adalah: Apakah serangan DoS layak disebut sebagai bentuk aktivisme digital, atau justru murni tindakan kriminal siber?

BAB 2: Mengenal Aktivisme Digital dan Hacktivism

Aktivisme digital adalah penggunaan teknologi dan media digital untuk menyuarakan pendapat, memperjuangkan hak, atau menentang kebijakan yang dianggap tidak adil. Bentuknya beragam:

  • Kampanye tagar (#)

  • Petisi daring

  • Edukasi publik lewat konten digital

  • Serangan simbolik terhadap sistem digital

Ketika aktivisme menyentuh dunia peretasan, muncullah istilah hacktivism—di mana pelaku menggunakan kemampuan teknis untuk mengguncang sistem yang dianggap opresif, misalnya dengan:

  • Deface website

  • Membocorkan dokumen

  • Melakukan DoS atau DDoS

BAB 3: Serangan DoS sebagai Alat Protes

Serangan DoS tidak mencuri data, tidak menyusup ke sistem, dan tidak mengubah informasi. Namun ia menghentikan akses layanan, seolah-olah mengatakan: “Kalau kau tak mau dengar kami, kami buat kau tak bisa bicara.”

Beberapa contoh:

  • Kelompok Anonymous menggunakan DDoS untuk melumpuhkan website pemerintah atau korporasi sebagai bentuk protes.

  • Serangan terhadap lembaga militer, media propaganda, atau situs-situs e-commerce besar yang diduga menindas hak-hak masyarakat.

Dalam konteks ini, DoS bukan soal keuntungan pribadi, tapi soal pesan politik atau moral.

BAB 4: Perspektif Hukum dan Etika

⚖️ Dari Sisi Hukum: Ilegal

Hampir semua negara menganggap DoS sebagai tindakan ilegal, karena:

  • Merusak atau mengganggu layanan publik

  • Melanggar integritas sistem

  • Merugikan pihak lain secara finansial

Pelaku bisa dikenakan hukuman pidana, bahkan jika motifnya adalah “membela kebenaran”.

🤔 Dari Sisi Etika: Debatable

  • Pro: Serangan DoS bisa dianggap setara dengan demo damai digital, karena tidak membocorkan data atau merusak sistem.

  • Kontra: Meski tidak mencuri, DoS tetap mengganggu hak pengguna lain dan dapat merusak layanan penting seperti rumah sakit atau bantuan bencana.

Etikanya tergantung konteks dan dampak—apakah menyuarakan kebenaran, atau hanya membuat kekacauan?

BAB 5: Aktivisme Digital yang Bertanggung Jawab

Jika tujuan pelaku adalah menyampaikan kritik atau membela kepentingan masyarakat, adakah cara lain yang lebih etis?

Alternatif yang lebih aman:

  • Kampanye online terbuka (misal di media sosial)

  • Ekspos fakta dengan data akurat

  • Bug bounty disclosure jika menemukan kerentanan

  • Desain satir digital (meme, video, poster)

Dengan cara ini, pesan tetap tersampaikan tanpa merusak sistem atau membahayakan pihak tak bersalah.

BAB 6: Kesimpulan

Apakah DoS bisa dianggap aktivisme digital?
Jawabannya: ya dan tidak.

Ya, jika dipandang dari niat—DoS bisa digunakan untuk menyuarakan protes terhadap sistem yang represif.
Tidak, jika dilihat dari hukum dan dampaknya—karena tetap melanggar hak digital pihak lain dan bisa menyebabkan kerugian besar.

Serangan DoS berada di wilayah abu-abu antara etika dan pelanggaran. Meski ada idealisme di baliknya, tindakan ini tetap perlu ditinjau dari sisi hukum dan moral.

Aktivisme digital yang kuat adalah yang menggugah kesadaran tanpa menghancurkan sistem.
Perubahan besar dimulai dari keberanian menyuarakan, bukan dari menghentikan akses orang lain.

NAMA : FAHRUL DERMANSYAH

NIM     : 23156201011

PRODI:SISTEM KOMPUTER STMIK CATUR SAKTI KENDARI